Mabuk Laut Selama 28 Jam di Kapal Patroli Polisi

Menertawakan diri sendiri itu sesekali memang perlu. Saya selalu tertawa geli jika mengingat pengalaman memalukan pada tahun 1991 ketika saya mengalami mabuk laut selama 28 jam di atas kapal patroli polisi. Mabuk laut kok sampai 28 jam ? Asyik sih asyik, tapi pengalaman yang satu ini asyik dalam kondisi tersiksa.

Bulan Juli 1991, saya mendapat tugas dari kantor untuk ikut dalam kapal patroli polisi dari Jakarta menuju Batam. Kapal itu menjadi salah satu peserta Latihan Bersama Aman Malindo ke-10 antara Kepolisian RI dan Polis Di Raja Malaysia (PDRM).

Kapal patroli polisi itu hanya berkapasitas 17 orang. Saya merupakan salah satu penumpangnya. Selebihnya ya anggota Polisi Perairan. Tak ada wartawan lain yang ikut.

Berbekal semangat tinggi dan ingin mencoba sesuatu yang baru, saya putuskan ikut kapal patroli polisi itu. Kalau sebelumnya saya sudah ikut mobil patroli kota, kali ini saya mencoba naik kapal patroli polisi.

Dua jam pertama, saya masih bisa bercanda dan tertawa dengan anggota Polri. Saya menikmati desiran angin laut yang bersih. Tetapi setelah itu, saya merasakan kepala mulai pusing. Perut terasa mual. Mau muntah tapi kok tak ada yang dikeluarkan. Aduh, saya mengalami mabuk laut.

"Ini belum seberapa," kata seorang polisi. "Nanti kalau kita lewat daerah Bangka, gelombangnya bisa lebih tinggi," lanjutnya.

Ucapan polisi itu bikin saya stres. Astaga. Gelombang yang tidak tinggi saja sudah bikin kepala saya pusing tujuh keliling, apalagi terkena gelombang tinggi.

Saya bertanya kepada polisi-polisi itu, apa obat mengatasi mabuk laut. "Obatnya tidak ada Mas. Obatnya cuma tidur," kata mereka.

Alhasil, perjalanan dari Jakarta ke Batam selama 28 jam itu benar-benar menyiksa saya.  Bolak-balik saya membalikkan badan, tetap saja saya tak bisa tidur.

"Paksakan tidur saja Mas, coba memikirkan yang enak-enak," kata salah satu anggota Polisi Perairan. Saya mencoba memejamkam mata, memikirkan yang enak-enak, tetapi tetap saja tak bisa tidur. Guncangan kapal terlalu keras akibat dihantam ombak. Bagaimana bisa memikirkan yang enak-enak dalam kondisi seperti itu?

Ketika melewati daerah Bangka, kapal patroli itu makin terguncang-guncang oleh gelombang tinggi. Antimo ternyata tidak mempan mengatasi mabuk laut itu. Akhirnya saya pasrah dan menunggu waktu berlalu. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali ya "menikmati" mabuk laut itu.


Esok harinya, Rabu 24 Juli 1991, kapal patroli polisi itu tiba di Batam. Begitu tiba di darat, badan saya masih terasa bergoyang-goyang dan kepala masih terasa pusing. Untunglah semangat kewartawanan saya mengalahkan semua rasa pusing itu. Lagipula malu juga kalau terus-terusan merasa mabuk laut. Sudah di darat kok masih mabuk laut.

Direktur Samapta Polri (waktu itu) Brigjen Pol Moch Hindarto cuma tertawa ketika saya ceritakan soal mabuk laut itu. Demikian pula Direktur Latihan Aman Malindo ke-10, Kolonel (Pol) Harimas AS, yang juga Kapolda Riau.

Saya berfoto bersama Direktur Latma Aman Malindo ke-10, Kolonel Pol Harimas AS, yang juga Kapolda Riau di Batam, Juli 1991. Wajah terlihat kusut karena baru mengalami mabuk laut selama 28 jam dalam perjalanan dengan kapal patroli polisi Jakarta-Batam.



Pengalaman ini sangat membekas di hati. Gara-gara mabuk laut itu, saya selalu berpikir dua kali melakukan perjalanan jauh dengan kapal, terutama kapal kecil. Waktu itu saya betul-betul tak mau mengalami mabuk laut yang menyiksa itu lagi. Ketika pulang ke Jakarta, saya naik pesawat udara karena jadwalnya memang demikian. Kapal patroli yang sata tumpangi dari Jakarta, akan bertugas di kawasan perairan Batam selama beberapa bulan.  


Aman Malindo
Perjalanan 28 jam dengan kapal patroli polisi itu dalam kaitan tugas meliput Latihan Bersama Aman Malindo ke-10 di Batam. Latihan ini merupakan kelanjutan dan peningkatan kegiatan yang sama pada tahun 1990 yang telah dilaksanakan di Johor Baru, Malaysia.

Latma 1991 melibatkan 165 personel dari Polri dan 84 personel dari Polis Di Raja Malaysia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Latma Aman Malindo ke-10 selain melibatkan Polisi Perairan kedua negara, juga mengikutsertakan Polisi Udara Polri dan PDRM. Dari Polri, empat kapal patroli yakni kapal 510, 620, 621 dan 623, dua helikopter BO dan sebuah pesawat fix wing.

Sedangkan dari PDRM, yang terlibat dalam Latma itu adalah dua kapal patroli PZ 5 "Balong" dan PZ 10 "Harimau Kumbang", sebuah pesawat fix wing dan sebuah helikopter. Letjen Datuk Syed Othman, Ketua Delegasi PRDM, mengatakan, secara umum kejahatan di perairan Selat Malaka makin meningkat dengan adanya kasus-kasus penyelundupan dan perompakan.

Kondisi Polisi Perairan tahun 1991
Tahun 1991, Polisi Perairan  masih memiliki 10 kapal patroli seri 500 hasil pampasan Jepang buatan tahun 1963 dan empat kapal patroli seri 900 buatan Jerman yang masih laik laut, yang beroperasi di perairan Indonesia Timur. Kekuatan Polisi Perairan ini dilengkapi dengan tujuh kapal patroli seri 600 buatan PT PAL Surabaya dan dua kapal buatan Australia, yang beroperasi di perairan Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Serta, kapal-kapal patroli jenis boat yang stand-by di pangkalan.

Kapal patroli polisi sejenis inilah yang saya ikuti dari Jakarta ke Batam tahun 1991 dan membuat saya "menikmati" mabuk laut selama 28 jam. FOTO: KOMPAS/R.ADHI KUSUMAPUTRA


Dalam tugas patroli, Polisi Perairan mengemban fungsi reserse, bimbingan masyarakat, sabhara dan intel sekaligus. Mereka harus mampu mengawasi perairan Indonesia, terutama yang rawan terhadap perampokan dan pencurian ikan oleh nelayan asing. Mereka juga harus bisa berdialog dengan masyarakat nelayan Indonesia. Biasanya nelayan senang jika berjumpa dengan petugas patroli.

Selama tahun 1991, Polisi Perairan di pelosok Indonesia menangani 28 kasus penyelundupan, 14 perompakan, 18 pencurian ikan, 15 nelayan asing, 210 kecelakaan laut, 122 SAR, 2 imigran gelap, 90 penemuan mayat, 13 pencurian kayu, tiga pembunuhan dan 49 tindak pidana ringan. 

Tugas Polisi Perairan tentu saja berbeda dengan tugas polisi di darat. Setiap bertugas, seorang anggota Polri biasanya melaut minimal empat bulan. Selama berbulan-bulan meninggalkan anak-istri, bukanlah tugas yang ringan. "Kami biasanya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan untuk menghindari kebosanan. Bayangkan, berhari-hari hanya melihat air laut," jelas Kapten (Pol) Sutriyono (34), komandan kapal patroli 623, pada waktu itu.

Saya berpikir, saya saja bosan di laut sehari semalam (dalam kondisi mabuk laut pula), bagaimana dengan anggota Polisi Perairan yang berada di laut selama berhari-hari dan berbulan-bulan? Tapi demi tugas negara, Polisi Perairan harus mengatasi kebosanan itu.

Bagi saya, pengalaman mabuk laut 28 jam di kapal patroli polisi menjadi pengalaman yang sulit dilupakan. Saya berpikir positif: mungkin saya mabuk laut karena saya memang tidak terbiasa jalan di laut. Ada gunanya juga mengalami ini karena saya bisa merasakan bagaimana "asyiknya" mabuk laut berjam-jam lamanya. Kan tidak semua orang mengalami ini? Jadi saya merasa beruntung pernah mengalami mabuk laut selama 28 jam...


Robert Adhi Ksp
Palmerah, 8.9.12

Komentar

Posting Komentar